Sabtu, 04 Februari 2012

Pendidikan Jangan Dipolitisasi (menyikapi pembagian buku bergambar tokoh politik)

Dunia pendidikan seolah-seolah tiada hentinya didera gelombang masalah. Mulai dari masalah kurikulum, pendidik, peserta didik, ujian akhir nasional dan yang paling fresh mengenai pembagian buku yang seolah-olah dipolitisasi atau memang dipolitisasi. Menjadi sebuah pertanyaan mengenai pembagian buku ini karena mengupas tentang figur seorang tokoh yang sedang berkuasa. 

Dalih bahwa buku yang dibagikan ini adalah buku pengayaan jelas bukan sesuatu yang dapat disalahkan karena buku tersebut memang termasuk dalam ranah pengayaan, tetapi yang menjadi masalah adalah dana yang digunakan merupakan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang jelas disebutkan dalam pedoman petunjuk penggunaanya bahwa buku yang dibeli dengan dana dari Dana Alokasi Khusus hanya boleh dibelikan buku yang menyangkut mata pelajaran sedangkan buku pengayaan tidak termasuk didalamnya, selain itu apakah tidak ada tokoh lain yang dapat difigurkan dalam buku yang dibagikan tersebut? Kenapa harus figur tokoh yang sedang berkuasa?. Sungguh suatu ironi mengingat bahwa dunia pendidikan diharapkan menjadi sesuatu yang independen tanpa ditunggangi kepentingan-kepentingan politik. 

Menurut Suyatno (2010) Pendidikan merupakan upaya yang terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar berkembang dan tumbuh menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, kreatif, berilmu, sehat, dan berakhlak mulia baik dilihat dari aspek jasmani maupun ruhani. Dari pengertian tersebut terlihat bahwa pendidikan memang sangat sensitif terhadap hal-hal yang berbau politik, karena dengan sedikit saja kita memasukkan unsur politik didalamnya maka apa yang kita sampaikan dapat menjadi sebuah penggiringan opini pada peserta didik. Dapat kita bayangkan bagaimana jadinya wajah demokrasi negara kita jika pendidikan sudah menjadi arena berpolitik? Bukannya akan mencetak manusia-manusia yang berilmu dan berkarakter melainkan hanya sebagai lahan meraup pundi-pundi suara pada saat pemilu. 

Tidak dapat disangkal bahwa dunia pendidikan memang menyuguhkan prospek yang sangat menjanjikan dalam dunia politik, kenapa? Karena melalui dunia pendidikan maka pundi-pundi suara dapat diraih dengan mudah pada saat pemilu. Dapat kita lihat bagaimana saat kampanye pemilu yang telah lalu, dimana para calon-calon legislatif maupun eksekutif dengan gencar melakukan “gerilya” di sekolah-sekolah. Tentu yang paling diuntungkan adalah mereka yang sedang memegang kekuasaan, karena hal tersebut dapat dijadikan alasan untuk meninjau sekolah atau apapun namanya. Yang jelas, kebanyakan dari alasan-alasan itu adalah untuk alasan politik walaupun memang mungkin ada sebagian anggota legislatif maupun eksekutif yang betul-betul peduli dengan pendidikan. Tetapi melihat kenyataan setelah hasil pemilu keluar dan diketahui pemenangnya, apakah masih ada anggota legislatif maupun eksekutif yang mengunjungi sekolah? Lagi-lagi hanya janji manis pemanis bibir saja. 

Berdasarkan Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sungguh indah kata-kata yang tercantum didalamnya, tetapi bagaimana warga negara akan bersikap demokratis jika pada masa sekolah sudah terjadi “penggiringan” opini terhadap seorang figur maupun kelompok? Yang terjadi adalah calon-calon pemilih ini akan memilih calon-calon yang memang sudah difigurkan semenjak dia sekolah, apakah hal ini masih bisa dianggap demokratis?. Cita-cita besar Pendidikan Nasional hanya akan tinggal cita-cita karena rancangan dengan implementasi sangat jauh berbeda. 

Sebuah ketakutan lain membayangi kejadian ini yaitu bahwa dunia pendidikan kita saat ini sedang mencanangkan pendidikan berbasis karakter pada peserta didik. Sebuah pendidikan yang timbul dari kesadaran bahwa bangsa yang besar harus memiliki warga negara yang berkarakter untuk dapat menghadapi tantangan regional dan global. Selain itu pendidikan berbasis karakter juga timbul dari Anti karakter bangsa ini diantaranya ditunjukkan dengan semakin maraknya perilaku anarkisme dan ketidakjujuran, misalnya tawuran dan nyontek, serta penyalahgunaan wewenang para bejabat negara, korupsi. Perilaku tersebut menunjukkan bahwa bangsa ini telah terbelit dengan rendahnya persoalan moral, akhlak, atau karakter. Bertolak dari hal inilah maka pendidikan karakter sangat mendesak ditanamkan sedini mungkin untuk mengantisipasi persoalan di masa depan yang semakin kompleks seperti semakin rendahnya perhatian dan kepedulian anak terhadap lingkungan sekitar, tidak memiliki tanggungjawab, rendahnya kepercayaan diri, dan lain-lain.

Akan tetapi dari kejadian pembagian buku disalah satu daerah ini timbul suatu pertanyaan, apakah karakter tokoh inikah yang akan dijadikan patokan pelaksanaan pendidikan karakter? Walaupun sang tokoh memiliki karakter yang memang berkarakter, tetapi peserta didik bukanlah boneka yang dapat kita bentuk seperti apa yang kita inginkan, pendidikan karakter bukanlah bertujuan mencetak peserta didik, tetapi lebih pada membimbing dan mengarahkan ke arah karakter yang baik, bukan menanamkan karakter seseorang karena pada hakikatnya peserta didik sudah memiliki karakternya sendiri. 

Kalau memang tujuan dari pendidikan karakter adalah menanamkan karakter pemimpin pada warga negaranya, alangkah kasihannya peserta didik, karena pada saat berganti pemimpin maka akan berganti pula karakter yang ditanamkan, apakah ini tujuan dari pendidikan karakter dan pembagian buku tersebut?. Harus diingat pendidikan bukanlah ajang untuk berpolitik walaupun ada pendidikan politik, tetapi pendidikan bukanlah untuk dipolitisasi.

Muhammad Syamsuri, S.Pd
Guru SMPN 4 Kintap

Kendala Sukses IPA Terpadu


Banyak yang beranggapan bahwa guru IPA terpadu SMP/MTs bisa diampu oleh guru bidang studi biologi, fisika atau kimia. Ternyata anggapan ini tidak sepenuhnya benar, karena pada hakikatnya Sains tidak sama dengan biologi, fisika atau kimia. 

Materi  pembelajaran sains di SMP/MTs terdiri atas empat bidang kajian, yaitu (a) makhluk hidup dan proses kehidupan, (b)  materi dan sifatnya, (c) energi dan perubahan­nya, , serta (d) bumi antariksa. Keempat bidang kajian tersebut merupakan suatu keutuhan pengetahuan yang  wajib dilihat sebagai suatu bangunan pengetahuan (body of knowledge), diajarkan oleh guru dan dikuasai oleh peserta didik juga sebagai suatu kesatuan. Atas dasar hal ini keempat bidang kajian tersebut merupakan suatu bangunan pengetahuan terpadu, terpadu dalam kompetensi dan terpadu dalam materi.

Pada dasarnya pembelajaran IPA terpadu bukanlah hal yang baru, karena sebagian dari guru-guru IPA telah menerapkan pembelajaran tersebut walau tidak menyadarinya, misalnya mengaitkan satu konsep dalam biologi dengan konsep lain yang relevan dalam fisika atau kimia dan sebaliknya. Akan tetapi, secara umum guru IPA belum memahami atau melaksanakan pembelajaran tersebut secara benar dan sistematis. Karena itu, wajar bila pembelajaran IPA terpadu dianggap sebagai model pembelajaran yang baru bagi guru-guru IPA. Apalagi sebagian besar guru IPA di SMP/MTs memiliki latar belakang keilmuan yang spesifik, misalnya pendidikan fisika, kimia, atau biologi yang menyebabkan guru kesulitan dalam mengaitkan dengan benar antar bidang kajian IPA, belum lagi dengan model perangkat pembelajaran yang tidak sama dengan perangkat pembelajaran pada umumnya karena pada perangkat pembelajaran IPA Terpadu kita harus pandai dan cermat dalam mengaitkan antar kompetensi dasar yang satu dengan yang lain sehingga menjadi suatu kajian pembelajaran yang saling terkait. Hal ini membuat kebanyakan guru mengambil langkah “aman” dengan mengajarkan IPA sesuai dengan apa yang dia bisa. Padahal jika guru mengetahui beberapa tipe pembelajaran yang dianjurkan dalam membelajarkan IPA Terpadu (Connected, integrated dan webbed) maka pembelajaran IPA Terpadu akan lebih mudah dalam pelaksanaannya. Melihat dari permasalahan tersebut, tidak ada cara lain untuk menerapkan pembelajaran IPA Terpadu selain dengan memberikan pelatihan kepada guru IPA tentang bagaimana cara-cara tepat dan efektif dalam melaksanakan pembelajaran IPA Terpadu, itupun jika benar bahwa pembelajaran IPA Terpadu ingin terlaksana.

Pembelajaran IPA terpadu membawa konsekuensi bahwa setiap  per­ma­salahan IPA ditinjau dari dua atau lebih bidang kajian dan menuntut pembahasan secara simultan dari dua atau lebih bidang kajian tersebut. Oleh karena itu, menjadi tuntutan yang rasional bila dalam pelaksanaan pembelajaran IPA terpadu melibatkan lebih dari satu guru dalam setiap pembelajarannya. Tentunya, secara terencana harus ada kejelasan tugas setiap anggota tim. Dengan demikian, kehadiran seorang anggota tim bukan sekedar pelengkap untuk keterlaksanaan suatu pembelajaran.

Menurut Subali, dkk (2009) Pembelajaran IPA terpadu dapat dilakukan oleh satu guru (guru tunggal) maupun secara team teaching. Hal ini bergantung pada ketersediaan dan kemampuan guru yang ada di sekolah. Pertama, Pembelajaran IPA terpadu oleh satu guru merupakan kondisi yang ideal, tetapi untuk dapat melakukannya guru harus memiliki kemampuan yang memadai dalam semua bidang kajian IPA dan jumlah siswanya sedikit. Beberapa keuntungan bila pembelajaran IPA terpadu diampu oleh satu guru adalah  guru dapat merencanakan dan melaksanakan pembelajaran tanpa bergantung pada guru yang lain dan guru dapat mengurangi berbagai permasalahan teknis, misalnya jadwal pelajaran (disesuaikan dnegan jadwal guru yang bersangkutan).  Kelemahan atau hambatan untuk menerapkannya, antara lain pertama, guru (khususnya guru senior) sudah terlanjur terbiasa mengajarkan IPA secara parsial sesuai latar belakang keilmuannya, sehingga cenderung kesulitan ketika harus mengaitkan atau melakukan penggabungan berbagai bidang kajian IPA. Kedua,  rendahnya motivasi dan kreativitas guru dalam mencari sumber-sumber informasi dan memadu­kan bidang-bidang kajian untuk pembelajaran. Ketiga, belum adanya upaya sistematik dari pihak yang berwenang untuk mengembangkan kemampuan guru di lapangan dalam melaksanakan pembelajaran IPA terpadu. dan Keempat, minimnya bahan pustaka yang dapat digunakan sebagai acuan oleh guru IPA dalam merencanakan dan mengem­bang­kan pembelajaran IPA terpadu. Oleh karena itu, untuk kondisi saat ini kemungkinan melakukan pembelajaran IPA terpadu oleh satu guru atau guru tunggal cenderung sulit dilakukan. 

Kedua, Pembelajaran IPA terpadu secara team teaching dilakukan dengan mempertimbangkan aspek bidang kajian yang dipadukan, jumlah siswa, dan sistem penilaiannya. Oleh karena itu, pembelajaran secara team teaching bukan berarti apabila seorang guru melaksanakan kegiatan pembelajaran, guru yang lain sesama tim tidak perlu hadir di kelas. Dalam team teaching semua guru yang termasuk anggota tim wajib terlibat secara aktif dalam menyiapkan perangkat pembelajaran (silabus, RPP, media, sumber belajar, dan instrumen penilaian) dan melaksa­nakan kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, setiap anggota tim harus jelas perannya, misalnya guru pertama memandu pembelajaran, guru kedua melaksanakan penilaian. Banyak keuntungan yang diperoleh dari pemberlakuan team teaching, terutama dalam mengatasi sejumlah hambatan yang ditemui dalam pembe­la­jaran IPA terpadu dengan guru tunggal. Karena itu, untuk kondisi saat ini, pembelajaran IPA terpadu secara team teaching lebih berpeluang dibanding­kan dengan guru tunggal. 

Akan tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa guru SMP/MTs dengan sadar dan dengan sengaja membagi tugas mengajar mereka sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka punya, misalnya guru biologi maka dia mengajar hanya pada materi biologi saja, demikian pula sebaliknya. Hal ini memang tidak bisa disalahkan karena mereka memang ahli dalam hal itu, tetapi jika ini tetap berlanjut maka akan sia-sialah yang dicanangkan IPA terpadu, karena tidak akan tercapai apa yang dinamakan keterpaduan itu. Yang patut disadari dan dipahami oleh guru IPA SMP/MTs bahwa pembelajaran IPA terpadu tidaklah sama dengan biologi, fisika atau IPA sehingga perlu kerja ekstra agar pembelajaran IPA terpadu ini terlaksana, karena mau tidak mau inilah tuntutan bagi guru IPA SMP/MTs. 

Muhammad Syamsuri, S.Pd
Guru SMPN 4 Kintap

New Taxonomy of Sciense Education


Sains dan teknologi saat ini berkembang dengan sedemikian pesatnya tetapi disayangkan perkembangan itu tidak diiringi dengan keinsyafan akan hakikat sains dan teknologi itu sendiri. Manusia terbuai oleh kecanggihan sains dan teknologi tanpa menyadari bahwa dia kehilangan sesuatu yang sangat essensi dalam pengembangan sains dan teknologi tersebut, yaitu moral dan tanggung jawab. Begitu banyak bukti yang menunjukkan bahwa perkembangan sains dan teknologi saat ini tidak dilandasi moral dan tanggung jawab. Sisi positif memang nampak tetapi sisi negatif yang muncul tidak kalah banyaknya. Di Amerika, timbul suatu keprihatinan nasional terhadap cara pengajaran sains, dimana siswa sama sekali tidak menghargai guru, siswa hanya berorientasi pada ilmu tanpa memperhatikan moral dalam mempelajari ilmu. Demikian juga dengan guru, tidak ada tanggung jawab moral terhadap ilmu yang diajarkan dan perkembangan siswanya, asalkan pembelajaran telah disampaikan dan siswa paham maka apapun yang dilakukan siswa selama pembelajaran dianggap sah dan boleh dilakukan. 

Bertolak dari hal tersebut McCormack dan Yager (1989) mengembangkan “New Taxonomy of Science Education” yang memperluas pandangan tentang pendidikan Sains di luar dua domain isi dan proses menjadi lima domain yang bisa dianggap penting untuk setiap kurikulum Sains yang baik. Domain pertama mengetahui dan memahami (Domain pengetahuan), Sains bertujuan untuk mengkatagorikan apa yang terlihat di alam kedalam bagian pengelolaan dengan tujuan untuk belajar, dan untuk mendeskripsikan hubungan antara gejala fisik dan biologi. Pengajaran Sains juga harus selalu melibatkan siswa dan  mengembangkan informasi melalui sudut pandang Sains. Siswa harus dikembangkan sikap kritisnya, apa yang terjadi dikehidupan sehari-hari harus mampu dijelaskan secara ilmiah, dengan tujuan agar siswa tidak termakan oleh mitos-mitos tetapi mampu membuktikan apa yang dianggap mitos itu sesuatu yang benar atau sesuatu yang salah. Jangan sampai siswa nantinya mengangap sesuatu benar hanya dari “katanya” tanpa mengetahui kebenaran sesungguhnya.

Domain kedua Domain Menjelajah dan Menemukan (Proses dari domain ilmu), Penggunaan proses ilmu pengetahuan untuk mempelajari bagaimana para ilmuwan berpikir dan bekerja (Kerja ilmiah). Prosedur penelitian ini sangat penting mengingat untuk memudahkan kita dalam melakukan penelitian dan tervalidasinya penelitian yang kita lakukan.

Domain ketiga Domain Membayangkan dan Membuat (Domain kreativitas), Sebagian besar program ilmu memandang program Sains sebagai sesuatu yang harus dilakukan oleh siswa untuk membantu mereka belajar mendapatkan informasi tertentu. Sedikit sekali perhatian formal yang diberikan dalam program ilmu pengetahuan untuk pengembangan imajinasi siswa dan berpikir kreatif. Banyak penelitian dan pengembangan telah dilakukan pada pengembangan kemampuan siswa dalam domain kreatif, tapi sedikit dari hal tersebut yang telah sengaja dimasukkan ke dalam program ilmu pengetahuan sehingga hanya menjadi “khayalan tingkat tinggi” dengan implementasi tingkat rendah.

Domain keempat Domain Merasa and Menilai (Domain sikap), Di zaman lembaga-lembaga sosial dan politik yang semakin kompleks, masalah lingkungan dan energi, dan kekhawatiran umum tentang masa depan, perhatian terhadap imajinasi tidak cukup untuk dijadikan parameter untuk program ilmu pengetahuan. Perasaan manusia, nilai-nilai, dan keterampilan pengambilan keputusan perlu dikembangkan. Siswa bekerja pada dilema yang terjadi secara nyata di kehidupan sehari-hari, bekerja dengan kelompok diskusi kooperatif, mengingat pro dan kontra serta etika dalam diskusi. Misal bagaimana siswa menyikapi keadaan anak-anak lain seumur yang tidak sekolah dan mengalami cacat mental maupum fisik. Dengan demikian, mereka menyadari beberapa sikap pribadi mereka dan teman sekelasnya yang diharapkan dengan hal ini akan menumbuhkan simpati dan empati di hati siswa sehingga sifat solidaritas dan sosialis dapat terkembangkan.

Domain kelima Domain Menggunakan dan Menerapkan (Domain Aplikasi dan Koneksi), Tidak ada gunanya jika memiliki program ilmu tetapi program ini tidak menyertakan sejumlah besar informasi, keterampilan, dan sikap yang dapat ditransfer dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari siswa. Siswa perlu peka terhadap pengalaman-pengalaman yang mereka hadapi yang mencerminkan ide-ide yang telah dipelajari dalam ilmu sekolah. Misal siswa mengumpulkan alat-alat di rumah yang sudah tidak terpakai kemudian dengan menerapkan apa yang dipelajari dari teori-teori di sekolah mereka mengubah alat-alat rusak tadi menjadi alat baru yang dapat digunakan.

Yang menjadi pertanyaan sekarang bagaimana menerapkan lima domain ini di sekolah? Penerapan lima domain ini sangat tergantung dari niat dan keinginan guru untuk melaksanakannya, Karena belum ada aturan yang “memerintahkan” untuk melaksanakan 5 domain ini secara tertulis, akan tetapi mengingat begitu urgentnya lima domain ini terhadap pembelajaran sains maka usaha untuk menerapkanya mutlak diperlukan. Hanya kesadaran guru yang ingin membuat pembelajaran sains menjadi pembelajaran sains yang bermaknalah yang dapat membuat lima domain ini terlaksana. Karena diakui atau tidak, memerlukan kerja ekstra agar lima domain ini dapat terlaksana. Jika kita bercermin akan peraturan yang ada (yang sudah disahkan) masih banyak yang tidak dilaksanakan, maka hanya guru yang mempunyai jiwa guru sajalah yang mampu melaksanakan lima domain ini. Yang jelas sebagai guru yang baik kita harus selalu berusaha agar pembelajaran yang kita laksanakan menjadi bermakna sehingga siswa dapat memahami pelajaran yang kita sampaikan secara holistik (utuh) tidak setengah-setengah bahkan diharapkan siswa mampu mengaplikasikan ilmu yang didapatnya dalam kehidupan sehari-hari tanpa meninggalkan nilai moral dan tanggung jawab terhadap penerapan ilmu tersebut. Semoga!

Muhammad Syamsuri, S.Pd
Guru SMPN 4 Kintap


Sertifikasi Penghargaan Bukan Santunan


Tidak diragukan bahwa sertifikasi merupakan salah satu daya tarik yang luar biasa terhadap profesi guru. Terbukti profesi guru yang dulunya dianggap “sebelah mata” berubah menjadi profesi yang diperebutkan oleh banyak orang. Namun apakah benar bahwa sertifikasi guru yang dilakukan selama ini sebagai upaya peningkatan mutu guru dalam meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan sudah terlaksana seperti yang diharapkan?
Menurut Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen dinyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Selanjutnya disebutkan bahwa guru profesional harus memiliki kualifikasi akademik minimum sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV), menguasai kompetensi (pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian), memiliki sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Artinya bahwa sertifikasi guru memang diperuntukkan bagi guru, guru dengan tugas tambahan sebagai kepala sekola, guru dengan tugas tambahan sebagai pengawas dan terpenting adalah sertifikasi guru ini diperuntukkan bagi guru yang memiliki kompetensi dalam bidang keguruan.
Berbicara mengenai kompetensi guru, menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah mengenai Standar Kompetensi Guru (2003: 87), “Kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak”. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kompetensi akan terwujud dalam bentuk penguasaan  pengetahuan dan perbuatan secara profesional dalam menjalankan fungsi sebagai guru.
Selanjutnya dinyatakan bahwa kompetensi seseorang dapat diukur berdasarkan standar yang telah ditetapkan. Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah mengenai Standar Kompetensi Guru (2003: 87) disebutkan bahwa standar kompetensi guru merupakan “...suatu ukuran yang ditetapkan atau dipersyaratkan dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan perilaku perbuatan bagi seorang guru agar berkelayakan untuk menduduki jabatan fungsional sesuai bidang tugas, kualifikasi, dan jenjang pendidikan”. Artinya seorang guru dikatakan profesional dalam melaksanakan tugas jika telah melaksanakan standar kompetensi guru yang telah ditetapkan, dimana standar kompetensi tersebut merupakan standar minimal yang harus dapat diterapkan oleh seorang guru.
Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah mengenai Standar Kompetensi Guru (2003: 88-89) disebutkan bahwa standar kompetensi guru meliputi tiga komponen, pertama komponen kompetensi pengelolaan pembelajaran yang mencakup empat kemampuan yaitu penyusunan rencana pembelajaran, pelaksanaan interaksi belajar mengajar, penilaian prestasi belajar siswa, dan pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar siswa. Kedua komponen kompetensi pengembangan profesi yang memiliki satu kemampuan yaitu pengembangan profesi. Ketiga komponen kompetensi penguasaan akademik, terdiri dari dua kemampuan yaitu pemahaman wawasan pendidikan dan penguasaan bahan kajian akademik.
Sedangkan menurut Undang-Undang No 14 Tahun 2005 Bab IV Pasal 10 disebutkan bahwa guru sebagai pendidik harus memiliki empat kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, merupakan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran siswa yang meliputi pemahaman terhadap siswa, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan siswa untuk mengaktualisasi berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi kepribadian, yaitu kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi siswa, dan berakhlak mulia. Kompetensi profesional, merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing siswa memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Kompetensi sosial, yaitu kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan siswa, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali siswa dan masyarakat sekitar.
Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah mengenai Standar Kompetensi Guru (2003: 87) “Adanya standar kompetensi guru bertujuan untuk memperoleh acuan baku dalam pengukuran kinerja untuk mendapatkan jaminan kualitas guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran”. Dengan melihat komponen yang ada dalam standar kompetensi guru maka kita dapat mengetahui bagaimana kinerja seorang guru. Jika guru telah melaksanakan semua komponen dalam standar kompetensi guru maka guru layak dikatakan sebagai guru berkinerja baik. Dengan adanya standar kompetensi guru diharapkan berpengaruh terhadap kinerja guru sehingga profesionalisme guru dapat terwujud. Secara umum kinerja yang ditunjukkan seseorang merupakan implementasi dari kemampuan/kompetensi yang dimiliki. Ada yang benar-benar mampu melaksanakan suatu pekerjaan dengan baik dan konsisten karena memiliki kompetensi, tetapi ada juga yang secara kebetulan mampu melakukan suatu tugas yang diberikan kepadanya tetapi tidak secara berkelanjutan mampu dilaksanakan dengan baik.
Pada dasarnya sertifikasi bertujuan untuk (1) menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik profesional, (2) meningkatkan proses dan hasil pembelajaran, (3) meningkatkan kesejahteraan guru, (4) meningkatkan martabat guru dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Selanjutnya, keempat tujuan tersebut diikuti dengan peningkatan kesejahteraan guru yang berupa pemberian tunjangan profesi bagi guru yang memiliki sertifikat pendidik dan memenuhi persyaratan lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Yang terjadi saat ini justru faktor pengikut ini yang seakan menjadi faktor utama. Bahkan tidak jarang guru yang tidak berkompeten, tidak berkinerja baik tetapi mendapatkan sertifikasi, ada apa ini? Sebagai guru, untuk mendapatkan sertifikasi maka harus bertanggung jawab penuh terhadap kompetensi guru, standar kompetensi guru, dan kinerja guru. Jika seorang guru telah memiliki ketiga hal tersebut maka sertifikasi merupakan hak mutlak baginya. 

Dalam buku Pedoman Penetapan Peserta Sertifikasi Guru Tahun 2011 disebutkan bahwa urutan prioritas penetapan peserta sertifikasi guru yang dapat langsung masuk mengisi kuota sertifikasi guru yaitu pertama semua guru yang diangkat dalam jabatan pengawas yang memenuhi persyaratan dan belum memiliki sertifikat pendidik. Kedua semua guru yang mengajar di daerah perbatasan, terdepan, terluar yang memenuhi persyaratan. Ketiga guru dan kepala sekolah berprestasi peringkat 1 tingkat provinsi atau peringkat 1, 2, dan 3 tingkat nasional, atau guru yang mendapat penghargaan internasional yang belum mengikuti sertifikasi guru dalam jabatan pada tahun 2007 s.d 2010. Keempat guru yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan sertifikat secara langsung yaitu guru dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan yang memiliki kualifikasi akademik magister (S-2) atau doktor (S-3) dari perguruan tinggi terakreditasi dalam bidang kependidikan atau bidang studi yang relevan dengan mata pelajaran atau rumpun mata pelajaran yang diampunya, atau guru kelas dan guru bimbingan dan konseling atau konselor, dengan golongan sekurang-kurangnya IV/b atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/b. Atau guru dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan yang memiliki golongan serendah-rendahnya IV/c atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/c. Kelima guru SD dan SMP yang telah terdaftar dan mengajar pada sekolah yang menjadi target studi sertifikasi guru.
Sedangkan bagi guru lainnya yang tidak masuk ketentuan diatas ditetapkan sebagai peserta sertifikasi guru berdasarkan kriteria urutan prioritas sebagai berikut: (1) masa kerja sebagai guru, (2) usia, (3) pangkat dan golongan, (4) beban kerja, (5) tugas tambahan, (6) prestasi kerja. Yang menjadi masalah adalah ketika yang menjadi urutan prioritas penetapan peserta sertifikasi guru adalah keenam kriteria urutan prioritas  yang terakhir, padahal jelas disebutkan bahwa apabila kelima kriteria urutan prioritas guru diatas sudah terpenuhi barulah memakai keenam kriteria yang terakhir. Tetapi sebagai bangsa yang memiliki “attitude” tinggi wajar bila yang lebih tua harus didahulukan daripada yang muda walau mungkin yang muda lebih memiliki kompetensi. Tetapi harus diingat bahwa sertifikasi adalah penghargaan bukan santunan. Menteri pendidikan beberapa waktu yang lalu pernah menyatakan yang intinya “apakah rela jika sertifikasi diberikan kepada orang-orang yang tidak berkompeten?”. Pernyataan tersebut jelas menyiratkan bahwa fenomena sertifikasi yang terjadi dilapangan tidak berjalan seperti yang diharapkan yaitu untuk kemajuan dunia pendidikan, tetapi benar bahwa sertifikasi telah mampu meningkatkan kesejahteraan guru. Paling tidak!

Muhammad Syamsuri, S.Pd
Guru SMPN 4 Kintap