Senin, 03 September 2012

Pendidikan yang masih “Memintarkan” belum “Memanusiakan”



Pendidikan yang masih “Memintarkan” belum “Memanusiakan”

Pendidikan adalah proses pendewasaan anak didik agar mampu menjalani kehidupan pada zamannya, sehingga dunia pendidikan harus melahirkan sikap insan cendekia. Tanpa sikap cendekia dan semangat intelektualitas maka pendidikan hanya akan menghasilkan orang-orang cacat moral. Jika suatu bangsa mengalami kebobrokan berarti ada yang tidak beres dalam proses pendidikan. Filosofi semangat pendidikan adalah memanusiakan manusia, bukan memintarkan manusia. Itulah beberapa pernyataan yang disampaikan oleh Prof. Dr. Mahfud MD dalam acara syawalan 1433 H di Auditorium Universitas Negeri Yogyakarta.

Menarik menyikapi hal tersebut, karena selain mengungkap harapan besar terhadap dunia pendidikan tetapi juga mengkritisi keadaan dunia pendidikan yang seolah-olah menjadi tersangka utama dalam “kebelumberhasilan” memanusiakan manusia Indonesia walaupun sudah bisa dikatakan “berhasil” dalam memintarkan manusia Indonesia.

Bukti bahwa pendidikan kita saat ini “sudah” berhasil dalam memintarkan manusia tolak ukurnya mudah yaitu dengan melihat tingkat kelulusan ujian akhir nasional peserta didik. Jika tingkat kelulusan ujian akhir nasional di suatu daerah tinggi maka bisa dikatakan bahwa pendidikan telah mampu memintarkan peserta didik. Semakin banyak peserta didik yang lulus maka semakin “berhasil” pendidikan dalam memintarkan peserta didik. Tetapi apakah dengan kemampuan memintarkan peserta didik tersebut pendidikan juga telah mampu memanusiakan peserta didik? Tolak ukurnyapun tidak terlalu sulit yaitu dengan melihat sikap peserta didik. Saat bertemu dengan orang yang lebih tua apakah peserta didik bersikap sopan dan santun? Apakah peserta didik dalam berkendara sudah mematuhi peraturan lalu lintas? Apakah peserta didik menghormati keragaman suku, adat, ras dan agama? Apakah peserta didik malu saat melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat? semua pertanyaan tersebut akan mengarah kepada jawaban bahwa dunia pendidikan kita sudah mampu memanusiakan manusia atau belum. Tentu semua dari kita bisa menjawabnya dengan argumentasi berbeda-beda.

Terkait atau tidak terkait dengan kemampuan dunia pendidikan dalam memintarkan ataupun memanusiakan peserta didik, tentu kita tidak boleh memvonis bahwa dunia pendidikan yang harus bertanggung jawab terhadap kebobrokan bangsa saat ini. Apalagi menyalahkan pendidik sebagai “ikon” dunia pendidikan. Segenap elemen bangsa bertanggungjawab terhadap ketidakberhasilan pendidikan kita dalam memanusiakan peserta didik. Pemerintah dalam hal ini adalah kementerian pendidikan nasional juga bertanggungjawab karena sebagai komando tertinggi arah kebijakan pendidikan seakan “hanya” mengeluarkan kebijakan dengan sedikit realisasi dan kontrol atas kebijakan tersebut.

Pendidikan karakter yang digaungkan dan menjadi angin surga akan terciptanya pendidikan yang mampu memanusiakan peserta didik sampai saat ini pelaksanaan di lapangan hanya terbatas pada rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dimiliki guru. Sedangkan tahap pelaksanaan masih sangat jauh dari yang diharapkan. Hal ini terjadi karena selain guru diharapkan menanamkan pendidikan karakter pada peserta didik tetapi dilain pihak guru juga harus membelajarkan materi pembelajaran yang mana materi tersebut begitu banyak. Sehingga yang terjadi guru hanya terfokus pada penyampaian materi pembelajaran karena materi itulah yang akan diujikan nantinya di ujian akhir nasional, sedangkan pendidikan karakter yang sebenarnya justru menjadi target pendidikan malah dikesampingkan sehingga sampai saat ini pendidikan hanya mampu memintarkan peserta didik tapi belum mampu memanusiakan peserta didik.

Jika memang ingin pendidikan yang memintarkan sekaligus memanusiakan peserta didik, maka cara yang paling efektif dan efisien adalah dengan menghapuskan ujian akhir nasional, sehingga para guru akan bertanggungjawab penuh terhadap “output sikap” peserta didik yang pada akhirnya juga akan berimbas kepada “output nilai” peserta didik, bukan sebaliknya. Nilai bukanlah patokan “dimilikinya ilmu”, tetapi proses dalam belajar itulah yang seharusnya menjadi acuan utama. Selama sistem ujian akhir nasional kita anut maka yang  “dikejar” bukanlah ilmu lagi tetapi nilai. Dan jika hal ini sudah terjadi maka jangan harap pendidikan karakter yang didambakan akan terwujud.

Perbedaan fasilitas yang dimiliki oleh sekolah juga menjadi pemicu kekurangberhasilan  pendidikan dalam memintarkan maupun memanusiakan peserta didik. Beban sekolah dengan fasilitas kurang memadai tentu lebih berat dibanding sekolah dengan fasilitas yang lebih memadai. Fasilitas pembelajaran yang dimiliki sekolah dengan kurikulum pendidikan saat ini ibarat “kelas ringan” melawan “kelas berat”. Pendidik dengan fasilitas pembelajaran terbatas tentu harus berpikir ekstra dalam merencanakan pembelajaran karena materi yang harus disampaikan sangat banyak dan berat bagi peserta didik.

Masyarakat sebagai lingkungan terlama peserta didik beraktivitas juga memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan atau kekurangberhasilan pendidikan dalam memanusiakan peserta didik. Di lingkungan masyarakat peserta didik melihat langsung teladan dari orang-orang yang dikenalnya. Sebaik apapun pembelajaran karakter yang dilakukan di sekolah tetapi jika lingkungan masyarakat kurang mendukung dalam meneladankan karakter maka yang akan dipahami dan ditiru peserta didik tentulah yang dicontohkan warga masyarakat.

Melihat betapa urgentnya peran pemerintah, pendidik dan masyarakat dalam usaha memintarkan dan memanusiakan peserta didik maka kerjasama ketiga pihak sangat diharapkan, sehingga cita-cita pendidikan untuk menghasilkan peserta didik yang mumpuni dalam segi ilmu dan moral dapat tercapai. Semoga!

Muhammad Syamsuri, M.Pd
Guru SMPN 4 Kintap






Tidak ada komentar: