Pendidikan yang masih “Memintarkan” belum “Memanusiakan”
Pendidikan adalah proses pendewasaan anak didik agar mampu menjalani
kehidupan pada zamannya, sehingga dunia pendidikan harus melahirkan sikap insan
cendekia. Tanpa sikap cendekia dan semangat intelektualitas maka pendidikan
hanya akan menghasilkan orang-orang cacat moral. Jika suatu bangsa mengalami
kebobrokan berarti ada yang tidak beres dalam proses pendidikan. Filosofi
semangat pendidikan adalah memanusiakan manusia, bukan memintarkan manusia. Itulah
beberapa pernyataan yang disampaikan oleh Prof. Dr. Mahfud MD dalam acara
syawalan 1433 H di Auditorium Universitas Negeri Yogyakarta.
Menarik menyikapi hal tersebut, karena selain mengungkap harapan besar terhadap
dunia pendidikan tetapi juga mengkritisi keadaan dunia pendidikan yang seolah-olah
menjadi tersangka utama dalam “kebelumberhasilan” memanusiakan manusia
Indonesia walaupun sudah bisa dikatakan “berhasil” dalam memintarkan manusia
Indonesia.
Bukti bahwa pendidikan kita saat ini “sudah” berhasil dalam memintarkan
manusia tolak ukurnya mudah yaitu dengan melihat tingkat kelulusan ujian akhir
nasional peserta didik. Jika tingkat kelulusan ujian akhir nasional di suatu
daerah tinggi maka bisa dikatakan bahwa pendidikan telah mampu memintarkan
peserta didik. Semakin banyak peserta didik yang lulus maka semakin “berhasil” pendidikan
dalam memintarkan peserta didik. Tetapi apakah dengan kemampuan memintarkan
peserta didik tersebut pendidikan juga telah mampu memanusiakan peserta didik?
Tolak ukurnyapun tidak terlalu sulit yaitu dengan melihat sikap peserta didik.
Saat bertemu dengan orang yang lebih tua apakah peserta didik bersikap sopan
dan santun? Apakah peserta didik dalam berkendara sudah mematuhi peraturan lalu
lintas? Apakah peserta didik menghormati keragaman suku, adat, ras dan agama?
Apakah peserta didik malu saat melakukan tindakan yang bertentangan dengan
norma yang berlaku di masyarakat? semua pertanyaan tersebut akan mengarah
kepada jawaban bahwa dunia pendidikan kita sudah mampu memanusiakan manusia
atau belum. Tentu semua dari kita bisa menjawabnya dengan argumentasi
berbeda-beda.
Terkait atau tidak terkait dengan kemampuan dunia pendidikan dalam
memintarkan ataupun memanusiakan peserta didik, tentu kita tidak boleh memvonis
bahwa dunia pendidikan yang harus bertanggung jawab terhadap kebobrokan bangsa
saat ini. Apalagi menyalahkan pendidik sebagai “ikon” dunia pendidikan. Segenap
elemen bangsa bertanggungjawab terhadap ketidakberhasilan pendidikan kita dalam
memanusiakan peserta didik. Pemerintah dalam hal ini adalah kementerian
pendidikan nasional juga bertanggungjawab karena sebagai komando tertinggi arah
kebijakan pendidikan seakan “hanya” mengeluarkan kebijakan dengan sedikit
realisasi dan kontrol atas kebijakan tersebut.
Pendidikan karakter yang digaungkan dan menjadi angin surga akan
terciptanya pendidikan yang mampu memanusiakan peserta didik sampai saat ini
pelaksanaan di lapangan hanya terbatas pada rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP) yang dimiliki guru. Sedangkan tahap pelaksanaan masih sangat jauh dari
yang diharapkan. Hal ini terjadi karena selain guru diharapkan menanamkan
pendidikan karakter pada peserta didik tetapi dilain pihak guru juga harus membelajarkan
materi pembelajaran yang mana materi tersebut begitu banyak. Sehingga yang
terjadi guru hanya terfokus pada penyampaian materi pembelajaran karena materi
itulah yang akan diujikan nantinya di ujian akhir nasional, sedangkan
pendidikan karakter yang sebenarnya justru menjadi target pendidikan malah
dikesampingkan sehingga sampai saat ini pendidikan hanya mampu memintarkan
peserta didik tapi belum mampu memanusiakan peserta didik.
Jika memang ingin pendidikan yang memintarkan sekaligus memanusiakan
peserta didik, maka cara yang paling efektif dan efisien adalah dengan
menghapuskan ujian akhir nasional, sehingga para guru akan bertanggungjawab
penuh terhadap “output sikap” peserta didik yang pada akhirnya juga akan
berimbas kepada “output nilai” peserta didik, bukan sebaliknya. Nilai bukanlah
patokan “dimilikinya ilmu”, tetapi proses dalam belajar itulah yang seharusnya
menjadi acuan utama. Selama sistem ujian akhir nasional kita anut maka
yang “dikejar” bukanlah ilmu lagi tetapi
nilai. Dan jika hal ini sudah terjadi maka jangan harap pendidikan karakter
yang didambakan akan terwujud.
Perbedaan fasilitas yang dimiliki oleh sekolah juga menjadi pemicu
kekurangberhasilan pendidikan dalam
memintarkan maupun memanusiakan peserta didik. Beban sekolah dengan fasilitas
kurang memadai tentu lebih berat dibanding sekolah dengan fasilitas yang lebih
memadai. Fasilitas pembelajaran yang dimiliki sekolah dengan kurikulum
pendidikan saat ini ibarat “kelas ringan” melawan “kelas berat”. Pendidik
dengan fasilitas pembelajaran terbatas tentu harus berpikir ekstra dalam
merencanakan pembelajaran karena materi yang harus disampaikan sangat banyak
dan berat bagi peserta didik.
Masyarakat sebagai lingkungan terlama peserta didik beraktivitas juga
memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan atau kekurangberhasilan
pendidikan dalam memanusiakan peserta didik. Di lingkungan masyarakat peserta
didik melihat langsung teladan dari orang-orang yang dikenalnya. Sebaik apapun
pembelajaran karakter yang dilakukan di sekolah tetapi jika lingkungan
masyarakat kurang mendukung dalam meneladankan karakter maka yang akan dipahami
dan ditiru peserta didik tentulah yang dicontohkan warga masyarakat.
Melihat betapa urgentnya peran
pemerintah, pendidik dan masyarakat dalam usaha memintarkan dan memanusiakan
peserta didik maka kerjasama ketiga pihak sangat diharapkan, sehingga cita-cita
pendidikan untuk menghasilkan peserta didik yang mumpuni dalam segi ilmu dan
moral dapat tercapai. Semoga!
Muhammad Syamsuri, M.Pd
Guru SMPN 4 Kintap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar