Senin, 03 September 2012

Latar Belakang Pendidikan Guru Sains



       Guru profesional dipersiapkan sejak menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Sadker (2009: 19) menyatakan “Education professors want to prepare: teachers who are deeply knowledgeable about the content of the specific subjects they will be teaching. Pendidikan profesi mempersiapkan  guru yang berpengetahuan luas tentang isi mata pelajaran tertentu dimana mereka akan mengajar nantinya. Artinya, seorang guru dipersiapkan dengan seksama agar menguasai pengetahuan khusus dalam suatu bidang sehingga benar-benar ahli dalam bidang tersebut. Lebih lanjut Trowbridge (1990: 2) menyatakan Science teachers should be prepared, organized and have a direction and purpose for their teaching. Guru sains harus dipersiapkan, diorganisasikan dan memiliki arah serta tujuan untuk pengajaran mereka. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa guru sains dipersiapkan secara khusus untuk mengajar sains, sehingga jika ada guru berijazah sarjana bukan sains tetapi mengajar sains, layak diduga pengajaran yang yang disampaikannya dilakukan dengan tidak baik dan tentu berimbas pada keprofesionalan sebagai guru.
Berkaitan dengan keprofesionalan, guru profesional dipersiapkan melalui dua tahap. Pertama berkaitan dengan pemilihan dan persiapan calon guru. Kedua berkaitan dengan peningkatan kualitas guru dalam pekerjaan.   Pertama berkenaan dengan pemilihan dan persiapan calon guru. Fase ini umumnya dikenal dengan pra-layanan pendidikan. kedua adalah yang berkenaan dengan peningkatan guru dalam pekerjaan dikenal dengan dalam layanan pendidikan. Artinya, guru profesional dipersiapkan jauh sebelum dia mengajar di sekolah yaitu saat akan masuk perguruan tinggi dengan mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru pada program studi yang dipilih, berstatus sebagai mahasiswa dengan diberikan bekal ilmu yang sesuai dengan program studi yang dipilih, dan praktik pengalaman lapangan (PPL) sesuai dengan jurusan program studinya. Gerberich (1949: 463-464) menyatakan The profession must provide suitable pre-service education...the teaching profession knows much more than ever before in its long history about the nature and needs of the learner and the learning process. Pendidikan profesi harus menyediakan pralayanan pendidikan yang sesuai, profesi guru diharapkan memiliki pengetahuan lebih banyak tentang sejarah panjang sifat dan kebutuhan peserta didik. Maksudnya, seorang guru diharapkan memiliki dasar psikologis tentang karakteristik peserta didik secara umum. Hal ini diperoleh saat menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Setelah pralayanan pendidikan kemudian masuk ke tahapan kedua yaitu saat menjadi guru di sekolah.
Guru bidang studi merupakan orang yang ahli dalam bidangnya, keahlian tersebut diperoleh saat menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Trowbridge (1990: 1) menyatakan The science teacher should have a good background in science, including a broad general knowledge in the areas of her major. Guru sains harus memiliki latar belakang pengetahuan sains yang baik, termasuk pengetahuan umum yang luas dibidangnya. Artinya guru sains merupakan orang yang harus memiliki kemampuan khusus dibidang sains serta ilmu penunjang dalam sains sehingga dapat mengajarkan sains dengan baik dan benar berdasarkan proses dan produk sains.
Profesi guru merupakan profesi yang kompleks dan menantang sehingga memerlukan orang yang berkompeten dalam menjabatnya. Wiseman (2005: 2) menyatakan:
The teaching profession is complex and chalenging. To meet these chalenges, future teacher need experiences that will help them acquire and later refine their skills and abilities. Your formal preparation will provide you opportunities to gain skills and abilities related to good teaching and help you grow through reflective analysis of what you read, learn, and experience. The reflection encouraged in your formal teacher preparation will serve as a model for learning throughout your teaching career.

Profesi mengajar adalah profesi yang kompleks dan menantang. Untuk memenuhi tantangan tersebut guru masa depan memerlukan pengalaman yang akan membantu guru dalam memperoleh, memperbaiki keterampilan dan kemampuan mereka. Pendidikan formal akan membantu dalam memperoleh  keterampilan dan kemampuan dalam pengajaran yang baik melalui analisis reflektif yang didapat dengan membaca, belajar dan dari pengalaman. Refleksi akan mendukung dalam persiapan pendidikan formal guru yang berfungsi sebagai model pembelajaran sepanjang karir mengajar.
Latar belakang pendidikan diharapkan berperan dalam mengatasi masalah pendidikan. Wiseman (2005: 35) menyatakan An understanding of the history of education and how it connects with the present can helps us interpret the present and perhaps helps us avoid repetition of past mistakes”. Pemahaman tentang sejarah pendidikan  dan bagaimana menghubungkannya dengan keadaan sekarang dapat membantu dalam menafsirkan masalah pendidikan yang akan datang dan membantu mengatasi pengulangan kesalahan masa lalu.
Guru dianggap layak menjadi seorang guru ketika mampu menunjukkan kemampuannya dalam mengajar, Gerberich (1949: 463) menyatakan Teacher was generally considered to be well prepared for his job when he could submit evidence of having mastered the required subject matter himself. Guru secara umum dianggap siap untuk melaksanakan pekerjaan ketika mampu membuktikan keahlian yang diperlukan dalam pekerjaannya sebagai seorang guru. Artinya, guru merupakan pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus, sehingga pekerjaan ini diakui saat dianggap telah memenuhi kualifikasi yang distandarkan. Hal ini juga bermakna bahwa guru bidang studi adalah orang yang ahli dalam bidangnya, sehingga tidak dibenarkan jika mengajar lintas bidang studi.
Latarbelakang pendidikan sangat berpengaruh dalam kemampuan mengajar guru, Wiseman (2005: 1) menyatakan What i value and believe arises from my personal background and experiences...my background helps explain my teaching. Apa yang saya nilai dan percaya muncul dari latar belakang pribadi dan pengalaman...latar belakang saya membantu menjelaskan bagaimana cara saya mengajar. Pendapat tersebut menyiratkan bahwa latar belakang pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam mempengaruhi cara mengajar guru. Pada dasarnya guru di didik untuk menjadi ahli dalam bidang tertentu, sehingga apabila guru mengajar bidang yang bukan keahliannya maka sangat dimungkinkan tidak mengajar dengan benar.
Wiseman (2005: 2) lebih lanjut menyatakan Personal and professional biography becomes a rich source of information  that helps clarify teacher’s disposition and behaviors and accounts for some of their ability to be socialized into the world of teaching. Biografi pribadi dan profesional menjadi sumber informasi yang kaya dalam membantu menjelaskan disposisi, perilaku dan perhitungan dari kemampuan guru untuk disosialisasikan dalam dunia pengajaran. Artinya bahwa latar belakang pribadi dan profesional yang dimiliki guru dapat dijadikan sebagai informasi yang berharga untuk kesuksesan dalam dunia pengajaran. Guru dengan ijazah kesarjanaan yang sesuai dengan bidang yang diajar akan lebih mudah dalam menjalankan tugasnya sebagai pengajar dibandingkan dengan guru yang ijazah kesarjanaannya berbeda dengan bidang yang diajar.
Syarat utama seseorang dalam mengajar adalah memiliki keahlian khusus dalam hal yang diajar. National Board for Professional Teaching Standards dalam Wiseman (2005: 10-11) menyatakan:
The document that sets forth the national standard for teaching lists the fundamental requirements for proficient teaching as a broad grounding in the liberal arts and science; knowledge of the subjects to be taught, of the skills to be developed, and of curriculum and materials; knowledge of methods for teaching and of for learner development; skills in understanding the diverse needs of students’ and ability to employ such knowledge in the interest of students.

Dokumen yang menetapkan standar nasional untuk mengajar mencantumkan persyaratan mendasar agar ahli dalam mengajar sebagai landasan yang luas dalam seni liberal dan ilmu pengetahuan,  pengetahuan tentang mata pelajaran yang akan diajarkan, keterampilan untuk dikembangkan, kurikulum dan bahan, pengetahuan tentang metode mengajar untuk pengembangan peserta didik, keterampilan dalam memahami berbagai kebutuhan peserta didik dan kemampuan untuk menggunakan pengetahuan tersebut untuk kepentingan peserta didik. Artinya seorang guru harus memiliki keahlian yang mendalam dalam bidang yang diajarnya meliputi pengetahuan tentang mata pelajaran yang akan diajar, kurikulum, keterampilan memahami peserta didik, kebutuhan peserta didik, dan menggunakan semua keahlian tersebut untuk kepentingan peserta didik.          
Sekolah pada dasarnya merupakan tempat orang tua menitipkan anaknya untuk mencari ilmu dengan asumsi bahwa guru yang mengajar di sekolah tersebut merupakan guru yang berkompeten. Berkaitan dengan hal tersebut Wiseman (2005: 10) menyatakan Schools are mandated to assure parents that students are taught by teachers who are highly qualified and are knowledgeable in the subject area they teach.  Sekolah diberi mandat untuk meyakinkan orang tua bahwa peserta didik diajar oleh guru yang berkualitas dan  memiliki pengetahuan di area subyek yang mereka ajarkan. Hal ini berarti bahwa sekolah harus membuktikan bahwa guru pengajar yang mereka miliki memang ahli dalam bidang yang diajarnya sehingga orang tua dapat mempercayakan anaknya untuk belajar di sekolahnya. Untuk membuktikan hal tersebut, tentunya diperlukan guru yang memiliki ijazah sarjana yang sesuai dengan bidang yang diajarnya, bukan guru yang mengajar lintas disiplin ilmu.
Guru sains merupakan guru yang memiliki kemampuan yang luas dan mendalam dalam bidang sains sehingga harus memiliki latar belakang pendidikan sains yang baik. Trowbridge (1990: 15) menyatakan:
Science teacher have some of the attributes essential for science teaching: understanding science, understanding students, organizing materials for science instruction, personalizing your interaction with students, recognizing personal meaning as a part of learning, and very importantly realizing your own role as decision maker in the science classroom.

Guru sains memiliki beberapa atribut yang penting dalam pengajaran sains yaitu pemahaman mengenai sains, pemahaman terhadap peserta didik, pengorganisasian materi untuk pengajaran sains, interaksi personalisasi dengan peserta didik, mengenali makna pribadi sebagai bagian pembelajaran, dan menyadari peran pentingnya sebagai pengajar di kelas sains. Artinya guru sains haruslah orang yang memiliki pengetahuan mendalam terhadap materi sains dan dapat mengajarkan sains kepada peserta didik sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik. Untuk dapat melaksanakannya tentu diperlukan keahlian yang khusus yang diperoleh dari pendidikan bidang sains sehingga sangat wajar jika guru yang mengajar sains bukan berijazah sarjana sains diragukan kemampuan mengajar sainsnya.
Berkaitan dengan perilaku mengajar guru yang baik, National Board for Professional Teaching Standards dalam Sadker (2009: 15) menyatakan “Determining what skills and behaviors identify truly excellent teachers in five criteria: mastery of subject area, commitment to students, ability to effectively manage a classroom, continous analysis of teaching performance, and commitment to learning and self improvement”. Lima kriteria yang dapat diidentifikasi dari keterampilan dan perilaku guru yang sangat baik yaitu penguasaan terhadap mata pelajaran yang diajar, komitmen terhadap peserta didik, kemampuan mengelola kelas, analisis secara berkelanjutan terhadap kinerja mengajar, dan komitmen untuk terus belajar dan memperbaiki diri dari kekurangan dalam mengajar. Dari kelima kriteria tersebut jelas sekali bahwa kemampuan dalam penguasaan terhadap materi terdapat pada nomor pertama, hal ini mengindikasikan bahwa syarat utama guru dalam mengajar adalah memiliki kemampuan yang baik dalam penguasaan materi, hal ini hanya dapat terpenuhi  dengan syarat guru harus memiliki ijazah sarjana yang sesuai dengan bidang yang yang diajarnya. 
Muhammad Syamsuri M.Pd
Guru SMPN 4 Kintap

Pendidikan yang masih “Memintarkan” belum “Memanusiakan”



Pendidikan yang masih “Memintarkan” belum “Memanusiakan”

Pendidikan adalah proses pendewasaan anak didik agar mampu menjalani kehidupan pada zamannya, sehingga dunia pendidikan harus melahirkan sikap insan cendekia. Tanpa sikap cendekia dan semangat intelektualitas maka pendidikan hanya akan menghasilkan orang-orang cacat moral. Jika suatu bangsa mengalami kebobrokan berarti ada yang tidak beres dalam proses pendidikan. Filosofi semangat pendidikan adalah memanusiakan manusia, bukan memintarkan manusia. Itulah beberapa pernyataan yang disampaikan oleh Prof. Dr. Mahfud MD dalam acara syawalan 1433 H di Auditorium Universitas Negeri Yogyakarta.

Menarik menyikapi hal tersebut, karena selain mengungkap harapan besar terhadap dunia pendidikan tetapi juga mengkritisi keadaan dunia pendidikan yang seolah-olah menjadi tersangka utama dalam “kebelumberhasilan” memanusiakan manusia Indonesia walaupun sudah bisa dikatakan “berhasil” dalam memintarkan manusia Indonesia.

Bukti bahwa pendidikan kita saat ini “sudah” berhasil dalam memintarkan manusia tolak ukurnya mudah yaitu dengan melihat tingkat kelulusan ujian akhir nasional peserta didik. Jika tingkat kelulusan ujian akhir nasional di suatu daerah tinggi maka bisa dikatakan bahwa pendidikan telah mampu memintarkan peserta didik. Semakin banyak peserta didik yang lulus maka semakin “berhasil” pendidikan dalam memintarkan peserta didik. Tetapi apakah dengan kemampuan memintarkan peserta didik tersebut pendidikan juga telah mampu memanusiakan peserta didik? Tolak ukurnyapun tidak terlalu sulit yaitu dengan melihat sikap peserta didik. Saat bertemu dengan orang yang lebih tua apakah peserta didik bersikap sopan dan santun? Apakah peserta didik dalam berkendara sudah mematuhi peraturan lalu lintas? Apakah peserta didik menghormati keragaman suku, adat, ras dan agama? Apakah peserta didik malu saat melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat? semua pertanyaan tersebut akan mengarah kepada jawaban bahwa dunia pendidikan kita sudah mampu memanusiakan manusia atau belum. Tentu semua dari kita bisa menjawabnya dengan argumentasi berbeda-beda.

Terkait atau tidak terkait dengan kemampuan dunia pendidikan dalam memintarkan ataupun memanusiakan peserta didik, tentu kita tidak boleh memvonis bahwa dunia pendidikan yang harus bertanggung jawab terhadap kebobrokan bangsa saat ini. Apalagi menyalahkan pendidik sebagai “ikon” dunia pendidikan. Segenap elemen bangsa bertanggungjawab terhadap ketidakberhasilan pendidikan kita dalam memanusiakan peserta didik. Pemerintah dalam hal ini adalah kementerian pendidikan nasional juga bertanggungjawab karena sebagai komando tertinggi arah kebijakan pendidikan seakan “hanya” mengeluarkan kebijakan dengan sedikit realisasi dan kontrol atas kebijakan tersebut.

Pendidikan karakter yang digaungkan dan menjadi angin surga akan terciptanya pendidikan yang mampu memanusiakan peserta didik sampai saat ini pelaksanaan di lapangan hanya terbatas pada rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dimiliki guru. Sedangkan tahap pelaksanaan masih sangat jauh dari yang diharapkan. Hal ini terjadi karena selain guru diharapkan menanamkan pendidikan karakter pada peserta didik tetapi dilain pihak guru juga harus membelajarkan materi pembelajaran yang mana materi tersebut begitu banyak. Sehingga yang terjadi guru hanya terfokus pada penyampaian materi pembelajaran karena materi itulah yang akan diujikan nantinya di ujian akhir nasional, sedangkan pendidikan karakter yang sebenarnya justru menjadi target pendidikan malah dikesampingkan sehingga sampai saat ini pendidikan hanya mampu memintarkan peserta didik tapi belum mampu memanusiakan peserta didik.

Jika memang ingin pendidikan yang memintarkan sekaligus memanusiakan peserta didik, maka cara yang paling efektif dan efisien adalah dengan menghapuskan ujian akhir nasional, sehingga para guru akan bertanggungjawab penuh terhadap “output sikap” peserta didik yang pada akhirnya juga akan berimbas kepada “output nilai” peserta didik, bukan sebaliknya. Nilai bukanlah patokan “dimilikinya ilmu”, tetapi proses dalam belajar itulah yang seharusnya menjadi acuan utama. Selama sistem ujian akhir nasional kita anut maka yang  “dikejar” bukanlah ilmu lagi tetapi nilai. Dan jika hal ini sudah terjadi maka jangan harap pendidikan karakter yang didambakan akan terwujud.

Perbedaan fasilitas yang dimiliki oleh sekolah juga menjadi pemicu kekurangberhasilan  pendidikan dalam memintarkan maupun memanusiakan peserta didik. Beban sekolah dengan fasilitas kurang memadai tentu lebih berat dibanding sekolah dengan fasilitas yang lebih memadai. Fasilitas pembelajaran yang dimiliki sekolah dengan kurikulum pendidikan saat ini ibarat “kelas ringan” melawan “kelas berat”. Pendidik dengan fasilitas pembelajaran terbatas tentu harus berpikir ekstra dalam merencanakan pembelajaran karena materi yang harus disampaikan sangat banyak dan berat bagi peserta didik.

Masyarakat sebagai lingkungan terlama peserta didik beraktivitas juga memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan atau kekurangberhasilan pendidikan dalam memanusiakan peserta didik. Di lingkungan masyarakat peserta didik melihat langsung teladan dari orang-orang yang dikenalnya. Sebaik apapun pembelajaran karakter yang dilakukan di sekolah tetapi jika lingkungan masyarakat kurang mendukung dalam meneladankan karakter maka yang akan dipahami dan ditiru peserta didik tentulah yang dicontohkan warga masyarakat.

Melihat betapa urgentnya peran pemerintah, pendidik dan masyarakat dalam usaha memintarkan dan memanusiakan peserta didik maka kerjasama ketiga pihak sangat diharapkan, sehingga cita-cita pendidikan untuk menghasilkan peserta didik yang mumpuni dalam segi ilmu dan moral dapat tercapai. Semoga!

Muhammad Syamsuri, M.Pd
Guru SMPN 4 Kintap






Minggu, 24 Juni 2012

Audisi Indonesia Mencari Guru Profesional


Audisi Indonesia Mencari Guru Profesional
Perdebatan eksistensi sekolah bertara(i)f internasional menghiasi perbincangan di berbagai media cetak maupun televisi. Semua terfokus kepada pendirian maupun siapa yang layak masuk ke sekolah tersebut, satu hal yang mereka lupakan yaitu apakah benar guru di sekolah bertara(i)f internasional tersebut adalah orang-orang yang memang profesional di bidangnya?
Guru dianggap layak menjadi seorang guru ketika mampu menunjukkan kemampuannya dalam mengajar, Gerberich (1949: 463) menyatakan “Teacher was generally considered to be well prepared for his job when he could submit evidence of having mastered the required subject matter himself”. Guru secara umum dianggap siap untuk melaksanakan pekerjaan ketika mampu membuktikan keahlian yang diperlukan dalam pekerjaannya sebagai seorang guru.
Pada dasarnya sekolah merupakan tempat orang tua menitipkan anaknya untuk menimba ilmu dengan asumsi bahwa guru yang mengajar di sekolah tersebut merupakan guru yang berkompeten. Wiseman (2005: 10) menyatakan “Schools are mandated to assure parents that students are taught by teachers who are highly qualified and are knowledgeable in the subject area they teach”.  Sekolah diberi mandat untuk meyakinkan orang tua bahwa peserta didik diajar oleh guru yang berkualitas dan  memiliki pengetahuan di area subyek yang mereka ajarkan. Hal ini berarti bahwa sekolah harus membuktikan bahwa guru pengajar yang mereka miliki memang ahli dalam bidang yang diajarnya sehingga orang tua dapat mempercayakan anaknya untuk belajar di sekolahnya.

Untuk memenuhi mandat orang tua tersebut maka pendidik di sekolah dituntut untuk memenuhi standar kompetensi yang merupakan wujud dari keprofesionalan guru. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah mengenai Standar Kompetensi Guru (2003: 87) menyatakan bahwa standar kompetensi guru merupakan “...suatu ukuran yang ditetapkan atau dipersyaratkan dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan perilaku perbuatan bagi seorang guru agar berkelayakan untuk menduduki jabatan fungsional sesuai bidang tugas, kualifikasi, dan jenjang pendidikan”. Artinya seorang guru dikatakan profesional dalam melaksanakan tugas jika telah melaksanakan standar kompetensi guru yang telah ditetapkan.

Menurut Undang-Undang No 14 Tahun 2005 Bab IV Pasal 10 disebutkan bahwa guru sebagai pendidik harus memiliki empat kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, merupakan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasi berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi kepribadian, yaitu kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi profesional, merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Kompetensi sosial, yaitu kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.

Wujud dari penerapan kompetensi guru tersebut dikenal dengan kinerja guru. Marsh (1996: 311) menyatakan Performance is another  major element in testing competence-this typically refers to performance of a role or set of tasks”. Kinerja merupakan unsur utama dalam uji kompetensi yang mengacu pada suatu kinerja atau sekumpulan tugas. Sedangkan Medley dalam Barnett (1992: 78) menyatakan “Performance was a tightly defined competency or set of competencies which could be reliably and publicy observed”. Kinerja merupakan sekumpulan kompetensi yang dapat dilaksanakan dan diamati oleh masyarakat umum. Berdasar kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan keterwujudan sekumpulan kompetensi yang dilaksanakan oleh seseorang pada profesi tertentu dimana masyarakat dapat mengamati keterlaksanaannya. Pernyataan ini diperkuat oleh direktorat jenderal peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan departemen pendidikan nasional (2008: 7) yang menyatakan Kinerja guru da­pat dilihat dan diukur berdasarkan spesifikasi/kriteria kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru”.

Menurut direktorat jenderal pendidikan dasar dan menengah mengenai standar kompetensi guru (2003: 87) “Adanya standar kompetensi guru bertujuan untuk memperoleh acuan baku dalam pengukuran kinerja untuk mendapatkan jaminan kualitas guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran”. Dengan melihat komponen yang ada dalam standar kompetensi guru maka kita dapat mengetahui bagaimana kinerja seorang guru. Jika guru telah melaksanakan semua komponen dalam standar kompetensi guru maka guru layak dikatakan sebagai guru berkinerja baik.

Dengan mengetahui keterlaksanaan standar kompetensi guru yang diwujudkan dalam kinerja guru maka kita akan tahu bagaimana kualitas guru/sekolah tersebut dalam menjalankan tugasnya dalam mendidik peserta didik. Tidak perduli apakah sekolah tersebut bertara(i)f internasional, bertara(i)f nasional, atau bahkan sekolah gratisan yang terletak di pedalaman, jika kinerja guru yang mengajar di sekolah tersebut berkriteria baik maka sekolah manapun layak untuk mendapat sebutan “sekolah berkualitas”.

Muhammad Syamsuri, S.Pd
Guru SMPN 4 Kintap