Sabtu, 04 Februari 2012

Pahlawan Yang Menangis Karena Tanda Jasa


Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru, namamu akan selalu hidup dalam sanubariku...engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa. Itulah sepenggal bait yang dulu sering dinyanyikan oleh siswa sebagai salah satu bentuk penghargaan kepada para guru, tetapi sekarang lagu tersebut sudah sangat jarang bahkan hampir tidak terdengar lagi dinyanyikan oleh siswa, mungkin karena dalam mind set siswa telah tertanam bahwa guru saat ini bukanlah pahlawan tanpa tanda jasa tetapi lebih tepat pahlawan dengan tanda jasa, sehingga mereka mungkin merasa tidak perlu lagi menyanyikan lagu tersebut karena sudah tidak relevan dengan keadaan guru sekarang.
Tidak salah memang anggapan yang menyatakan bahwa guru saat ini bukan lagi pahlawan tanpa tanda jasa tetapi sudah berubah menjadi pahlawan dengan tanda jasa, dan bahkan tidak sedikit yang  beranggapan bahwa dengan tanda jasa yang diterimanya guru sudah tidak layak menyandang status sebagai “pahlawan” karena pahlawan tidak pernah meminta apalagi menuntut tanda jasa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV Tahun 2008, pahlawan diartikan sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani, dari pengertian tersebut maka memang sudah sewajarnya jika kebanyakan orang menganggap bahwa guru saat ini kurang tepat jika disebut sebagai pahlawan.
Terlalu besar sebenarnya yang dikorbankan para guru dengan adanya “tanda jasa”. Pertama, profesi guru saat ini bukan lagi menjadi profesi panggilan jiwa, tetapi lebih condong kearah pekerjaan dengan prospek menjanjikan, hal ini berdampak terhadap kurangnya tanggungjawab moral guru terhadap perkembangan siswa. Saat ini dapat dilihat tidak jarang guru yang bersikap cuek terhadap siswa yang berkelakuan tidak baik di sekolah maupun di luar sekolah. Guru merasa bahwa tugasnya hanyalah mengajar didepan kelas tanpa mau tahu dengan yang dilakukan siswa setelah keluar dari kelas. Hal ini menyebabkan guru seakan kehilangan jati dirinya sebagai seorang guru.
Kedua, krisis kewibawaan dan kepercayaan dari siswa maupun orangtua siswa. Kebutuhan siswa sebenarnya bukanlah pelajaran yang setiap hari guru berikan kepada mereka, tetapi lebih kepada kasih sayang dan perhatian guru sebagai orang tua. Dengan perhatian dan kasih sayang, siswa akan merasa bahwa keberadaan mereka lebih dihargai sehingga akan timbul ikatan kuat antara guru dengan siswa dan dengan sendirinya membuat guru lebih dihormati. Tetapi dengan guru tanpa jiwa guru, yang terjadi adalah “mencekoki” siswa dengan segala pengetahuan yang sulit. Siswa akan merasa tertekan, tidak tertarik pada pelajaran, ditambah lagi dengan tidak adanya perhatian dan kasih sayang dari guru, maka jangan salahkan jika yang terjadi adalah siswa menganggap guru sebagai orang yang membuat kesulitan bagi mereka, dan dengan kondisi seperti ini jangan harap wibawa maupun penghormatan yang didapat.
Dilain pihak guru terkesan terlalu menuntut akan perbaikan hidupnya, hal ini menyebabkan timbul kesan di masyarakat bahwa guru saat ini kurang ikhlas dalam menjalankan tugas dan harus diakui karena hal tersebut maka tidak sedikit wibawa guru jatuh dimata orang tua siswa.
Ketiga, tuntutan keprofesionalan yang berlebihan. Sudah tidak disangsikan bahwa dengan adanya “tanda jasa” yang diberikan kepada guru menyebabkan tuntutan agar guru menjadi profesi yang benar-benar profesional datang bertubi-tubi, bahkan tuntutan tersebut yang “sepertinya” ditujukan agar guru menjadi profesional justru “sebenarnya” membuat profesi guru menjadi tidak profesional. Contoh konkret dari salah satu tuntutan itu adalah rencana  penambahan jam mengajar guru menjadi 27.5 jam/minggu.
Benar bahwa dengan penambahan jam mengajar guru akan bekerja maksimal karena guru pasti akan sibuk dengan jam pelajaran sehingga kegiatan lain yang kurang bermanfaat saat bekerja akan dapat dihindari. Benar bahwa dengan penambahan jam mengajar akan mengurangi pengeluaran negara karena akan banyak honorer yang diberhentikan. Tetapi tidak benar jika penambahan jam mengajar akan meningkatkan kinerja guru.
Edmund R. Gray menyatakan “performance is what an employee accomplishes on the job” artinya kinerja adalah apa yang dicapai oleh pekerja dalam menjalankan tugasnya. Selanjutnya Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional menyatakan bahwa Kinerja guru da­pat dilihat dan diukur berdasarkan spesifikasi/kriteria kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru. Artinya untuk melihat kinerja guru maka harus melihat keterlaksanaan kompetensi yang harus dilaksanakan oleh guru. Dan menurut Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah mengenai Standar Kompetensi Guru bahwa Standar Kompetensi Guru meliputi tiga komponen, pertama komponen kompetensi pengelolaan pembelajaran yang mencakup empat kemampuan yaitu penyusunan rencana pembelajaran, pelaksanaan interaksi belajar mengajar, penilaian prestasi belajar peserta didik, dan pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar peserta didik. Kedua komponen kompetensi pengembangan profesi yang memiliki satu kemampuan yaitu pengembangan profesi. Ketiga komponen kompetensi penguasaan akademik, terdiri dari dua kemampuan yaitu pemahaman wawasan pendidikan dan penguasaan bahan kajian akademik.

Berdasar penjelasan tersebut maka tidak benar jika penambahan jam mengajar bertujuan untuk meningkatkan kinerja guru, justru yang terjadi adalah penambahan jam mengajar guru akan membuat kinerja guru menurun karena terlalu terbebani dengan jumlah jam mengajar yang terlalu banyak.

Ketiga bentuk pengorbanan diatas merupakan harga yang harus dibayar oleh para guru atas diberikannya “tanda jasa”, tetapi apakah dengan tanda jasa itu guru harus kehilangan haknya sebagai guru? Seharusnya tidak!

Muhammad Syamsuri, S.Pd
Guru SMPN 4 Kintap



Tidak ada komentar: