Sabtu, 04 Februari 2012

Realita Profesi dan Sertifikasi Guru


Berbagai upaya dilakukan agar terlaksananya profesionalisme guru mulai dari pelatihan, pengawasan hingga peningkatan gaji yang diwujudkan dengan sertifikasi guru sebagai imbalan terhadap guru yang dianggap kinerjanya profesional. Tetapi apakah benar, hal tersebut telah berpengaruh terhadap kinerja guru dilapangan?
Banyak temuan dilapangan yang secara nyata memperlihatkan bahwa guru saat ini masih tidak profesional, hal ini terindikasi dari beberapa hal berikut: pertama, ketidaksesuaian keahlian guru. Ini ditunjukkan dari ketidaksamaan bidang keahlian guru dengan mata pelajaran yang diajar. Sebagai contoh guru dari jurusan biologi mengajar fisika atau kimia bahkan matematika. Hal tersebut memang diperbolehkan karena masih dalam rumpun ilmu yang diangap sama yaitu exact walaupun hal tersebut tetap tidak dapat dibenarkan, tetapi yang lebih parah tidak sedikit ditemui guru mengajar lintas disiplin ilmu, misal guru Bahasa Indonesia mengajar Matematika atau IPA. Biasanya alasan utama hal ini terjadi karena kekurangan jumlah personil guru atau jam mengajar, ibarat kata “tak ada rotan akarpun jadi”, memang tidak salah tetapi yang menjadi masalah mau jadi apa dunia pendidikan kita? Apakah yang seperti itu masih layak mendapat sebutan profesional? 

Kedua, untuk mencukupi jam mengajar (24 jam/minggu) agar sesuai dengan tuntutan sertifikasi guru, ditemukan guru mengajar pada level sekolah yang berbeda, misal guru SMP mengajar SMA, hal ini tentu tidak sesuai dengan psikologi pembelajaran, karena bagaimanapun juga psikologi siswa SMP berbeda dengan siswa SMA. Tanpa mengurangi rasa salut terhadap guru yang mempunyai semangat tinggi ingin mencukupi jam mengajarnya, hal ini tetaplah sesuatu yang tidak benar karena kebisaan mengajar didepan kelas  dan memahami materi yang diajarkan bukanlah indikator dari keberhasilan mengajar, karena pada hakikatnya mengajar dan belajar memiliki dimensi Transfer of Knowledge dan Transfer of Culture dengan sasaran subjek didik yang tepat.

Ketiga, penempatan guru diberbagai instansi sekolah oleh pemerintah daerah tidak sesuai dengan kebutuhan dan permintaan sekolah. Tidak sedikit ditemui guru ditempatkan disekolah yang sudah ada guru pengajarnya. Hal ini menyebabkan guru yang baru ditempatkan terpaksa mengajar bidang studi yang tidak sesuai dengan keahliannya. Entah ini suatu kesengajaan atau ketidaksengajaan atau bahkan ada unsur Money Politic, yang jelas hal ini sangat berpengaruh terhadap keprofesionalan guru. Keempat, guru melecehkan terhadap profesinya sendiri dengan bekerja tidak serius, menganggap bisa mengajar mata pelajaran apapun yang diberikan kepadanya, padahal sesuatu yang diserahkan bukan kepada ahlinya maka tunggu saja kehancurannya. 

Berdasarkan Undang-Undang No 14 Tahun 2005 Bab IV Pasal 10, jelas disebutkan bahwa guru harus memiliki empat kompetensi yang meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial. Kompetensi pedagogik adalah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasi berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi kepribadian yaitu kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Kompetensi sosial yaitu kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitas. 

Dari penjelasan diatas jelaslah bahwa guru harus memiliki kecakapan yang mumpuni baik dalam segi pribadi, ilmu yang dimiliki dan sosialisasi terhadap masyarakat. Yang terjadi saat ini, mayoritas guru memiliki kekurangan dalam ketiga hal tersebut. Sebagai contoh, ada guru yang memiliki integritas tinggi dan mudah bergaul dengan masyarakat, tetapi karena dia mengajar bukan pada bidang keahliannya maka apa yang disampaikan terkesan “meraba-raba” karena dia sendiri tidak yakin apakah yang disampaikanya benar atau salah sebagai akibat tidak memiliki dasar akan hal itu, dilain pihak sumber rujukan hanya pada buku teks yang ada. Padahal untuk mengajarkan sesuatu menjadi hal yang menarik dan benar, kita harus memiliki kedalaman ilmu akan apa yang kita sampaikan. Bahkan guru bidang studi yang sesuaipun banyak menemui kesulitan dalam menyampaikan materi kepada siswa karena harus menyesuaikan dengan keadaan siswa, apalagi yang memang bukan bidangnya. 

Melihat realita yang dijabarkan diatas, maka siapapun akan dapat menyimpulkan bagaimana wajah keprofesionalan guru saat ini. Sangat diperlukan gebrakan dalam dunia pendidikan yang mampu membuat guru benar-benar menjadi guru profesional. Bukan hanya dengan memegang “bukti” sebagai guru bersertifikat maka sudah dianggap profesional. Tidak jarang ditemui guru yang mempunyai surat “sakti” tersebut sebenarnya tidak profesional. Hanya karena dia memiliki banyak sertifikat atau apapun namanya, sehingga dinyatakan lulus dalam uji sertifikasi. Padahal kenyataan dilapangan dia tidak bisa mengajar dengan baik, bahkan siswa yang diajarnya menjadi semakin bingung dengan apa yang diajarkan. Kenapa tidak mencoba menilai keprofesionalan guru dengan melibatkan peserta didik maupun komite sekolah? Dengan menanyakan apakah guru sudah mengajar dengan baik atau yang disampaikan mudah dipahami atau tidak misalnya. Jangan hanya melihat sesuatu dari yang nampak tetapi tidak menunjukkan apapun, keprofesionalan bukan diukur dari tumpukan kertas-kertas tanpa makna tetapi dari akumulasi kompetensi yang diterapkan guru disekolah dan masyarakat. 

Apapun yang ada dilapangan saat ini, hendaknya menjadi cambuk pemicu bagi para guru untuk terus meningkatkan keprofesionalannya, meski jelas keprofesionalan tidak dapat digapai secara instan, tetapi paling tidak mari kita mulai dari sekarang, kapan lagi?




Tidak ada komentar: