Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu bukti bahwa semua sekolah memiliki kedudukan dan status yang sama. Kedudukan sebagai institusi penyelenggara pendidikan dan status sebagai Sekolah Berstandar Nasional (SBN). Tetapi apakah benar bahwa semua sekolah berstatus sebagai Sekolah Berstandar Nasional? Penyelenggaran Ujian Nasional(UN) lah buktinya. Dapat kita lihat bahwa soal UN antara sekolah yang satu dengan yang lain adalah sama tanpa mempedulikan kesenjangan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh antar sekolah penyelengggara. Sebenarnya sudah jelas bahwa sekolah perkotaan (berfasilitas lengkap) dengan sekolah pinggiran (berketerbatasan lengkap) adalah berbeda dalam segala hal. Tetapi hal tersebut seakan tidak menggoyahkan “niat baik” pemerintah yang menganggap bahwa semua sekolah berstatus dan berkualitas sama. Sebuah kebanggaan tetapi sekaligus “romusha” bagi sekolah pinggiran, karena dengan fasilitas dan tenaga pendidik yang serba terbatas dituntut untuk menyamakan kualitas dengan sekolah yang berfasilitas dan berguru lengkap.
Beban yang dipikul oleh sekolah pinggiran dalam menghadapi UN memang tidak seberat sekolah perkotaan, karena dengan keterbatasan yang dimiliki ada segudang alasan yang dapat diutarakan jika tingkat kelulusan siswanya rendah, lain cerita tentunya jika tingkat kelulusan sekolah perkotaan yang rendah. Tetapi yang menjadi pertanyaan sekarang, mungkinkah sekolah pinggiran menjadi sekolah unggulan?.
Sebuah pertanyaan atau lebih tepat sebuah mimpi bagi sekolah pinggiran. Tetapi harus kita cermati setiap peluang agar sekolah pinggiran dapat meraih mimpinya tersebut. Pertama, peraturan yang mengatur tentang pendidikan. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional mengenai Standar Isi Pendidikan pasal 20 tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, dijelaskan bahwa sekolah bersama komite sekolah mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum sesuai dengan peraturan pemerintah dan standar kompetensi nasional. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap sekolah berhak untuk mengatur arah kebijakan sekolahnya masing-masing untuk menjadi seperti apa kedepannya, walaupun hal tersebut masih harus mengacu pada peraturan-peraturan yang ada dan Standar Kompetensi Nasional yang ditetapkan. Tetapi paling tidak hal ini membuka kesempatan bagi sekolah bersama komite sekolah untuk memajukan dan mengembangkan sekolahnya masing-masing berupa bidang ilmu unggulan, misal jika sekolah tidak mampu bersaing dalam bidang sains tetapi dalam hal olahraga sangat menonjol maka pengembangannya dapat lebih ke arah olahraga.
Kedua, sarana dan prasarana. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tentang Pendanaan Pendidikan Pasal 46 dijelaskan bahwa pendanaan pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Hal tersebut memperlihatkan bahwa setiap satuan pendidikan memiliki hak yang sama dalam memperoleh sarana dan prasarana untuk menunjang proses belajar mengajar. Tetapi pada kenyataanya, sarana dan prasarana antara sekolah pinggiran dan perkotaan sangat jauh berbeda. Di sekolah pinggiran ruang belajar tidak mencukupi, jangan membayangkan memiliki laboratorium dan perpustakaan yang lengkap, gedung untuk belajar saja tidak cukup. Lain halnya dengan sekolah perkotaan yang dengan mudahnya mendapat bantuan membangun gedung baru, melengkapi alat-alat laboratoriumnya, buku-buku baru, dll. Ada apa ini? Entah ini benar atau hanya sebuah lelucon yang mengatakan “siapa dekat dan cepat maka dia dapat”. Jika hal ini benar maka hapus impian menjadikan sekolah pinggiran menjadi sekolah unggulan, karena sekolah pinggiran pasti akan “ kalah dekat dan cepat” dibandingkan dengan sekolah perkotaan. Selain itu peran komite sekolah sebagai penjelmaan masyarakat didalam lingkungan sekolah juga harus dioptimalkan. Karena maju mundurnya sekolah juga sangat ditentukan oleh peran aktif komite sekolah dalam membantu dan mengawasi kelancaran pelaksanaan kegiatan belajar mengajar.
Ketiga, kepala sekolah dan pendidik. Kepala sekolah merupakan pemegang kendali dalam menentukan kebijakan mau dibawa kemana sekolah yang dipimpinnya. Kepala sekolah yang memiliki visi dan misi yang jelas dan konkrit tentunya memiliki pandangan jauh kedepan dalam menentukan masa depan sekolahnya, kepala sekolah seperti ini pasti punya rencana jangka panjang untuk kemajuan sekolah. Berbeda dengan kepala sekolah yang tidak punya visi dan misi yang jelas, kebanyakan dia hanya akan bergerak jika ada “perintah” untuk bergerak tanpa ada inisiatif untuk mencari peluang bagaimana memajukan sekolahnya.
Pendidik merupakan bagian yang sangat berperan dalam menentukan apakah sekolah akan tetap menjadi sekolah pinggiran atau menjadi sekolah unggulan, kenapa? Karena pendidik merupakan ujung tombak dari sekolah dan merupakan orang yang bersentuhan langsung dengan subjek pendidikan sehingga merekalah yang paling mengerti bagaimana keadaan real sekolah. Pendidik yang memiliki pandangan bahwa segala sesuatu itu mungkin tentunya berbeda dengan pendidik yang hanya pasrah akan keadaan. Oleh karena itu penyatuan visi dan misi antara kepala sekolah dan pendidik untuk menjadikan sekolahnya menjadi sekolah unggulan sangat diperlukan karena keduanya merupakan motor penggerak dalam meraih hal tersebut.
Dengan adanya visi dan misi yang sama antara kepala sekolah dan pendidik maka yang terbaiklah yang dilakukan demi terwujudnya impian bersama. Tak diragukan lagi bahwa pendidik memiliki kemampuan, tetapi untuk menjadi sekolah unggulan bukan hanya kemampuan yang diperlukan tetapi juga kemauan, dengan kombinasi kemampuan dan kemauan maka asa menggapai sekolah unggulan bukanlah sesuatu yang mustahil. Sudah saatnya sekolah pinggiran untuk bangkit membuktikan diri mampu menjadi yang terbaik dengan segala keterbatasan yang ada, karena semua sekolah adalah Berstandar Nasional!.
Muhammad Syamsuri, S.Pd
Guru SMPN 4 Kintap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar